Jumat, 12 April 2013

Biodegradasi Senyawa Organik


Biodegradasi dilakukan oleh dekomposer , mikro-organisme ( jamur , bakteri , protozoa ) yang tumbuh pada bahan organik mati, atau produk limbah dari ekosistem . Dari sudut pandang kimia, degradasi adalah oksidasi senyawa organik. Proses oksidasi yang paling penting adalah respirasi yang memungkinkan pelepasan karbon dioksida dan penutupan siklus biogeokimia karbon.
Biodegradasi Fenol
Biodegradasi fenol dengan kultur murni Pseudomonas aeruginosa ATCC27833 yang terlebih dahulu diadaptasikan bertingkat pada konsentrasi komposisi nutrisi yang berbeda dan dengan konsentrasi fenol sebesar 500 ppm. Analisa hasil degradasi ditentukan secara kolorimetri dengan menggunakan 4-aminoantipirin dan Kalium Ferrisianida sebagai oksidator pada pH 10,2 untuk penentuan sisa fenol. Diketahui bahwa kultur murni Pseudomonas aeruginosa ATCC27833 setelah diadaptasi tiga kali selama 10 hari mampu mendegradasi fenol sebesar 495,88 ppm. Penelitian biodegradasi ini ddilakuakn pada skala laboratorium, yang difokuskan pada pemecahan komponen tunggal dengan menggunakan kultur murni. Fenol merupakan racun protoplasmic yang toksik terhadap segala jenis sel. Kadar fenol yang tinggi akan mengendapkan protein, sedangkan kadar rendah akan mendenaturasi protein tanpa koagulasi. Biodegradasi fenol adalah terjadinya pengrusakan cincin aromatic oleh mikroba pada proses anaerob dan aerob. Senyawa aromatic baik secara total maupun sebagian dapat didegradasi oleh mikroorganisme tergantung pada jumlah cincin dan jenis substituennya.
Degradasi fenol dan homolognya dilakukan oleh berbagai organisme berupa bakteri, jamur, kapang, ganggang, dan tumbuhan tungkat tinggi (Semple and Cain, 1996). Pengetahuan tentang jalur biotransformasi merupakan hal penting untuk melihat resiko pada daerah terkontaminasi dan penerapan perlakuan biologi. Bagaimanapun, jalur yang diamati di laboratorium dengan organisme tanpa aklimatisasi sering berbeda dengan yang diobservasi di lapangan atau pada proses perlakuan dengan konsorsium mikroba yang dipaparkan dalam kontaminan untuk waktu yang lama (Nicholson et al., 1992). Pada kasus kloroaromatik, alasan lambatnya atau tidak adanya biodegradasi dalam lingkungan disebabkan oleh jumlah yang tidak memadai dari mikroba pendegradasi poliklorofenol (Blasco et al., 1997; Miethling and Karlson, 1996) dan inhibisi oleh konsentrasi toksik senyawa ini, atau oleh kontaminan lain (Heipieper et al., 1992; Miethling and Karlson, 1996). Namun kadang-kadang mikroba khusus yang diintroduksikan bekerja tidak sesuai dengan harapan,karena faktor seperti ketahanan (survival) rendah, predasi, dan pengaturan kemampuan degradasi yang tidak baik (Blasco et al., 1997).

II. PROSES DEGRADASI
Degradasi senyawa fenol dapat dilakukan lebih mudah dibandingkan dengan senyawa hasil sintetik derivat atau homolog aromatis. Hal ini lebih disebabkan karena senyawa ini telah lebih lama dikenali bakteri pendegradasi sehingga bakteri mampu mendegradasi jauh lebih baik dibandingkan dengan dengradasi senyawa derivat sintetiknya.
Proses pemecahan fenol dan mineralisasi dilakukan berbagai organisme melalui destabilisasi cincin aromatis fenol. Senyawa fenol mengalami oksidasi dengan bantuan enzim dioksigenase-cincin (ring-dioxygenase) menghasilkan dihidrodiol. Senyawa katekol (dihydric phenol) dihasilkan dari senyawa dihidrodiol dehidrogenase. Melalui pemecahan orto dengan enzim katekol 2,3-dioksigenase menghasilkan cis-cis-mukonat, atau pemecahan meta dengan enzim katekol 2,3-dioksigenase, senyawa katekol diubah menjadi hidroksi mukonat semialdehid, dan pemecahan lain. Hasil metabolit ini dapat masuk ke siklus TCA. Beberapa homolog fenol juga mempunyai jalur reaksi yang sama sebelum masuk siklus TCA.
Kemampuan degradasi mikroba terhadap senyawa fenol dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti jenis mikroba, proses aklimatisasi, senyawa toksik, dan toleransi mikroba terhadap senyawa toksik. Beberapa mikroba tercatat mampu mendegradasi fenol dengan baik. Ganggang eukaryot, Ochromonas danica, mampu tumbuh pada fenol sebagai satu-satunya sumber karbon. Ganggang ini mengoksidasi fenol dan memineralisasi fenol menjadi katekol melalui pembelahan meta. Konversi fenol menghasilkan CO2 sebanyak 60%, 15% tetap dalam medium cair, dan sisanya dikonversi menjadi biomassa (Semple and Cain, 1996). Jamur Ceriporiopsis subvermispora dan Cyathus stercoreus mampu mendegradasi senyawa tannin (Gamble et al., 1996).
Senyawa toksik berupa logam berat juga mengganggu mikroba pendegradasi. Kontaminasi logam berat secara alami (erosi, kebakaran,pencucian, aktifitas gunung api, dan transformasi mikroba) dan oleh kegiatan manusia (limbah industri, pembuangan sampah, dan pembakaran bahan bakar fosil) menyebabkan akumulasi logam dalam relung lingkungan yang anaerobik (Kuo and Genthner, 1996). Keadaan ini membuat perlunya diketahui kemampuan mikroba untuk mendegradasi senyawa aromatik di daerah yang juga tercemar logam berat. Pertumbuhan bersama antara pereduksi Cr(VI), Escherichia coli ATCC 33456, dan pendegradasi fenol, Pseudomonas putida DMP-1, secara simultan mereduksi Cr(VI) dan mendegradasi fenol (Shen and Wang, 1995). Penambahan Cr(VI) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan biodegradasi fenol sampai 179% dan benzoat sampai 169%, sedang penambahan Cd(II) dan Cu(II) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan laju biodegradasi benzoat sampai 185% dan 2-klorofenol sampai 168%. Untuk Hg(II) 1.0-2.0 ppm, 2-klorofenol dan 3-klorobenzoat terdegradasi 133-154% lebih cepat daripada kontrol setelah periode aklimatisasinya diperpanjang (Kuo and Genthner, 1996). Peningkatan toleransi sel melawan substrat beracun dapat meningkatkan kemampuan degradasi bahan pencemar oleh mikroba terkait. Perubahan komposisi lemak membran dari cis menjadi trans menyebabkan peningkatan derajat saturasi lemak membran. Modifikasi ini berhubungan dengan peningkatan toleransi membran terhadap senyawa toksik, seperti fenol dan klorofenol (Heipieper et al., 1992).
Beberapa derivat aromatis atau homolog fenol juga mampu didegradasi oleh mikroba. Strain bakteri MVI, suatu kelompok bakteri Gram-negatif dan basilus aerobik, yang diisolasi dari lumpur yang diperkaya yang diambil dari tempat pengolahan air limbah pabrik plastik memperlihatkan kemampuan mendegradasi bisfenol A. Sebanyak 60% bisfenol A termineralisasi menjadi CO2 , dan 20% menjadi bagian sel. Bisfenol dipecah menjadi 4-hidroksibenzoat dan 4-hidroksiasetofenon untuk kemudian dimineralisasi dan diasimilasi menjadi karbon dalam sel. Dua puluh persen lainnya dihidroksilasi membentuk 2,2-bis(4-hidroksifenil)-1-propanol, kemudian ditransformasi menjadi 2,3-bis(4-hidroksifenil)-1,2-propanediol. Sel yang ditumbuhkan pada bisfenol A ternyata mampu mendegradasi juga bisfenol alkana, asam benzoat terhidroksilasi, dan asetofenon terhidroksilasi (Lobos et al., 1992). Selama degradasi difenil eter yang dilakukan oleh bakteri Sphingomonas sp. strain SS3 terbentuk intermediet fenol dan katekol yang kemudian menuju jalur 3-oksoadipat. Bakteri ini juga mampu menggunakan derivat 4-floro, 4-kloro, dan sedikit 4-bromo dari difenil eter sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi. Langkah inisiasi degradasi mengikuti mekanisme 1,2-dioksigenase yang menghasilkan fenolat hemiasetal yang tidak stabil dari struktur difenil (Schmidt et al., 1992). Rhodobacter capsulatus E1F1, bakteri non sulfur ungu fototrofik yang mampu memfotoasimilasi nitrat atau nitrit, tumbuh secara fototrofik pada medium dengan mono dan dinitrofenol dengan asetat sebagai sumber karbon. Pertumbuhan terbesar diperoleh pada kondisi mikroaerobik (Blasco and Castillo,1992).
Pada kasus biodegradasi senyawa aromatik seringkali terbentuk intermediet yang lebih toksik dari senyawa asli. Karena tingkat kelarutan yang tinggi menyebabkan senyawa ini mudah menyebar. Oleh sebab itu, proses mineralisasi harus merupakan tujuan akhir dari degradasi senyawa aromatis, bukan hanya sekedar telah terjadi konversi senyawa ini (Blasco et al., 1997;Laine and Jorgensen, 1996).
Pada senyawa kloroaromatis, mineralisasi biasanya dilakukan oleh enzim melalui jalur klorokatekol. Sayangnya hanya sedikit bakteri yang mampu mentransformasi klorofenol menjadi klorokatekol untuk kemudian menuju proses ineralisasi (Blasco et al., 1997). Reduksi dehalogenasi kelihatannya merupakan langkah inisiasi dalam degradasi anaerobik seluruh klorofenol (Mohn and Kennedy, 1992; Nicholson et al., 1992). Reduksi ini memiliki nilai penting terhadap lingkungan karena produk metabolik yang lebih sedikit mengandung klorin umumnya kurang beracun dan lebih mudah didegradasi oleh bakteri aerob dibandingkan dengan senyawa induk yang memiliki klorin lebih banyak (Nicholson et al., 1992). Nicholson et al. (1992) juga mencatat bahwa reduksi deklorinasi terjadi pada lumpur buangan anaerobik yang tidak diaklimatisasi dan yang diaklimatisasi, sedimen, tanah yang ditambah dengan lumpur buangan, dan lingkungan perairan.
Jalur lain dalam degradasi homolog fenol selain jalur klorokatekol dapat saja terjadi melalui pembelahan meta dan 3-oksoadipat yang menghasilkan protoanemonin, suatu intermediet yang lebih toksik daripada senyawa induk. Protoanemonin merupakan suatu senyawa antibiotik spektrum luas yang biasanya dihasilkan oleh tumbuhan keluarga Ranunculaceae (Blasco et al., 1997). Pembentukan protoanemonin ini dibuktikan dengan percobaan menggunakan tanah disterilisasi dan tanah yang tidak disterilisasi. Pemberian katekol, 4-klorokatekol, dan 4-klorobenzoat pada tanah disterilisasi tidak mempengaruhi pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LB400, bakteri yang mampu memetabolisme klorobifenil. Benzoat dan bifenil dirombak tanpa akumulasi intermediet, atau mengalami mineralisasi. Pada tanah yang tidak disterilisasi, pemberian senyawa tersebut menyebabkan penurunan viabilitas bakteri LB400. Penurunan ini dapat terjadi karena pengaruh kompetisi terbatas dan/atau predasi, namun penurunan yang lebih besar dapat terjadi karena adanya akumulasi senyawa toksik berupa protoanemonin yang dibentuk oleh mikroorganisme indigenous (Blasco et al., 1997).




Gambar 2. Jalur degradasi aerobik 4-klorobenzoat. 1). dehalogenasi hidrolitik 4-klorobenzoat menghasilkan 4-hidroksibenzoat, 2). dioksigenasi 4-klorobenzoat dikatalisis oleh benzoat dioksigenase membentuk 4-klorokatekol, 3). pembelahan meta 4-klorokatekol oleh katekol 2,3-dioksigenase, 4). pembelahan orto 4-klorokatekol oleh katekol dan klorokatekol 1,2-dioksigenase, 5). pembentukan cis-dienelakton dari 3-kloro-cis,cis-mikonat dikatalisis oleh kloromukonat sikloisomerase, 6). 1,4-sikloisomerasi dari 3-kloro-cis,cis-mukonat dikatalisis oleh mukonat sikloisomerase Trichosporan cutaneum, 7). Pembentukan protoanemonin dikatalisis oleh mukonat sikloisomerase (dari Blasco et al., 1997).

Inokulasi LB400 bersama dengan Pseudomonas PS121 yang mampu mendegradasi 4-klorobenzoat melalui 4-klorokatekol dan jalur orto ke dalam tanah tidak disterilisasi menunjukkan tidak adanya penurunan viabilitas LB400. Hal yang sama juga terlihat pada kombinasi LB400 dengan P. putida KT2442 yang memiliki plasmid TOL yang mampu merubah 4-klorobenzoat menjadi 5-kloro-2-hidroksimukonat semialdehid, sehingga tidak terjadi akumulasi 4-klorokatekol dan protoanemonin (Blasco et al., 1997). Beberapa mikroba lain yang mampu mengkonversi klorofenol telah dilaporkan. Meski tidak menyebutkan secara spesifik, Mohn and Kennedy (1992) melihat adanya beberapa mikroba anaerob yang mampu mendegradasi klorofenol dan mungkin dapat digunakan pada limbah yang mengandung klorofenol. Biodegradasi anaerobik merupakan suatu pilihan yang murah untuk
mengeluarkan bahan pencemar organik in situ dari lingkungan (Kuo and Genthner, 1996). Setelah aklimatisasi pada 3,4 ?M pentaklorofenol selama 6 bulan, konsorsium metanogen mampu mengeluarkan klorin dari posisi orto, meta, dan para dari pentaklorofenol dan produk reduktif deklorinasinya. Pentaklorofenol didegradasi menjadi 2,3,4,5-tetraklorofenol, 2,3,4,6-
tetraklorofenol, dan 2,3,5,6-tetraklorofenol. Proses deklorinasi 2,3,4,5-tetraklorofenol menghasilkan 3,4,5-triklorofenol untuk kemudian didegradasi menjadi 3,4-diklorofenol dan 3,5-diklorofenol. Deklorinasi melalui orto dan meta dari 2,3,4,6-tetraklorofenol menghasilkan 2,4,6-triklorofenol dan 2,4,5-triklorofenol, sedang 2,3,5,6-tetraklorofenol menghasilkan 2,3,5-triklorofenol dilanjutkan dengan pembentukan 3,5-diklorofenol. Degradasi 2,4,6-triklorofenol
menghasilkan 2,4-diklorofenol, sedang deklorinasi 2,4,5-triklorofenol pada dua posisi menghasilkan 2,4-diklorofenol dan 3,4-diklorofenol. Dari tiga diklorofenol yang dihasilkan hanya 2,4-diklorofenol yang dapat didegradasi dalam waktu relatif singkat untuk membentuk 4-klorofenol (Nicholson et al., 1992). Inokulasi tanah dengan Sphingomonas chlorophenolica RA2 sebanyak 108 sel/g mampu memperpendek secara mengesankan waktu mineralisasi 30g pentaklorofenol dengan sekitar 80% diubah menjadi CO2.
  •  Inokulasi dengan Mycobacterium
chlorophenolicum PCP1 meningkatkan mineralisasi sedikit di atas bakteri indigenous. Kemampuan yang buruk dari strain ini mungkin berhubungan dengan sifat sensitifnya terhadap pentaklorofenol, juga mungkin karena kondisi tanah yang sedikit asam (Meithling and Karlson, 1996). Penambahan bahan tertentu yang mengandung inokulan ke dalam tanah terkontaminasi klorofenol dapat mempercepat proses degradasi klorofenol. Setelah adaptasi dengan pentaklorofenol, kompos jerami mampu memineralisasi 56% pentaklorofenol. Sedang tanah teremediasi (remediated soil) yang telah diperkaya mampu memineralisasi 24% pentaklorofenol (Laino and Jorgensen, 1996). Biodegradasi anaerobik senyawa klorofenol dan klorobenzoat juga tergantung kepada elektron yang tersedia dan posisi klorin tersubstitusi(Haggblm et al., 1993).
Hasil proses degradasi tidak  seluruhnya dapat dimineralisasi. Beberapa intermediet ternyat bersifat resisten terhadap degradasi lanjut. Dua produk yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap degradasi, sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut (Mohn and Kennedy, 1992). Melihat kenyataan ini pemilihan mikroba yang lebih sesuai untuk aplikasi sehingga meminimalkan produk tak terdegradasi lanjut maupun terbentuknya intermediet toksik menjadi penting.




4 komentar:

  1. pertanyaan:pada artikel di atas dikatakan hasil proses degradasi tidak seluruhnya dapat dimineralisasi. Beberapa intermediet ternyat bersifat resisten/menentang/melawan terhadap degradasi lanjut. Dua produk yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap degradasi, sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut. apa yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi?

    BalasHapus
  2. Limbah senyawa fenolik termasuk 4-klorofenol merupakan senyawa beracun yang sulit didegradasi dengan bantuan mikroorganisme. hal ini disebabkan karena senyawa 4-klorofenol adalah senyawa siklis aromatic yang resisten karena 4-klorofenol sulit dioksidasi dengan pengolahan biologi (dengan bantuan mikroorganisme). Selain itu adanya gugus halogen yang terikat pada struktur fenol dasarnya juga berpengaruh. Adanya halogen pada siklis aromatik biasanya menimbulkan proses deaktifasi pada mikroorganisme dalam biodegradasi. Pengaruh deaktifasi bertambah dengan bertambahnya jumlah substitusi halogen pada aromatik. Klorofenol dengan substitusi halogen yang besar dapat menjadi resisten dalam biodegradasi mikroorganisme.

    Akan tetapi ada cara lain untuk mendegradasi senyawa 4-klorofenol, yaitu dengan teknik ozonasi( metode oksidasi fasa larutan yang berdasarkan prinsip pembentukan dan pemanfaatan radikal *OH) dan plasma.

    semoga membantu

    BalasHapus
  3. Baiklah saya akan mencoba menjawab permasalahan anda
    menurut literatur yang saya peroleh kemungkinan faktor yang dapat menyebabkan Dua produk yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap degradasi sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut adalah karena adanya Penambahan beberapa unsur tertentu sehingga mempengaruhi pada proses degradasi, berikut uraiannya:
    Cr(VI) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan biodegradasi fenol sampai
    179% dan benzoat sampai 169%, sedang penambahan Cd(II) dan Cu(II)
    sebanyak 0.01 ppm meningkatkan laju biodegradasi benzoat sampai 185% dan
    2-klorofenol sampai 168%. Untuk Hg(II) 1.0-2.0 ppm, 2-klorofenol dan 3-
    klorobenzoat terdegradasi 133-154% lebih cepat daripada kontrol setelah periode
    aklimatisasinya diperpanjang (Kuo and Genthner, 1996). Peningkatan toleransi
    sel melawan substrat beracun dapat meningkatkan kemampuan degradasi bahan
    pencemar oleh mikroba terkait. Perubahan komposisi lemak membran dari cis
    menjadi trans menyebabkan peningkatan derajat saturasi lemak membran.
    Modifikasi ini berhubungan dengan peningkatan toleransi membran terhadap
    senyawa toksik, seperti fenol dan klorofenol (Heipieper et al., 1992).
    Selain itu, adanya yang bersifat resisten tersebut dapat disebabkan oleh sulit dioksidasi dengan pengolahan biologi
    Kemudian, keterikatan gugus halogen pada fenol yakni siklis aromatiknya dapat menyebabkan penambahan deaktifasi yang akhirnya menambah keberadaan subsitusi halogen pada aromatik. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan sifat resisten itu terjadi.
    trimms smoga membantu

    BalasHapus
  4. menurut sumber yang saya baca:
    Senyawa klorofenol adalah senyawa siklis aromatic yang resisten. Klorofenol ini dapat didegradasi oleh beberapa mikroorganisme manjadi molekul yang toksisitasnya lebih rendah. Adanya halogen pada siklis aromatik biasanya menimbulkan proses deaktifasi pada mikroorganisme dalam biodegradasi. Pengaruh deaktifasi bertambah dengan bertambahnya jumlah substitusi halogen pada aromatik. Klorofenol dengan substitusi halogen yang besar dapat menjadi resisten dalam biodegradasi mikroorganisme.
    Senyawa 4 Klorofenol merupakan senyawa terhalogenasi sintetik, yang bersifat toksik, rekalsitran dan persisten di alam karena adanya gugus halogen yang terikat pada struktur fenol dasarnya. oleh karena itu 4-klorofenol merupakn senyawa yang resisten pada biodegradasi.

    BalasHapus