Biodegradasi dilakukan oleh dekomposer
, mikro-organisme ( jamur , bakteri , protozoa ) yang tumbuh pada bahan organik
mati, atau produk limbah dari ekosistem . Dari sudut pandang kimia, degradasi
adalah oksidasi senyawa organik. Proses oksidasi yang paling penting adalah
respirasi yang memungkinkan pelepasan karbon dioksida dan penutupan siklus
biogeokimia karbon.
Biodegradasi
Fenol
Biodegradasi
fenol dengan kultur murni Pseudomonas aeruginosa ATCC27833 yang terlebih dahulu
diadaptasikan bertingkat pada konsentrasi komposisi nutrisi yang berbeda dan
dengan konsentrasi fenol sebesar 500 ppm. Analisa hasil degradasi ditentukan
secara kolorimetri dengan menggunakan 4-aminoantipirin dan Kalium Ferrisianida
sebagai oksidator pada pH 10,2 untuk penentuan sisa fenol. Diketahui bahwa
kultur murni Pseudomonas aeruginosa ATCC27833 setelah diadaptasi tiga kali
selama 10 hari mampu mendegradasi fenol sebesar 495,88 ppm. Penelitian
biodegradasi ini ddilakuakn pada skala laboratorium, yang difokuskan pada
pemecahan komponen tunggal dengan menggunakan kultur murni. Fenol merupakan
racun protoplasmic yang toksik terhadap segala jenis sel. Kadar fenol yang
tinggi akan mengendapkan protein, sedangkan kadar rendah akan mendenaturasi
protein tanpa koagulasi. Biodegradasi fenol adalah terjadinya pengrusakan
cincin aromatic oleh mikroba pada proses anaerob dan aerob. Senyawa aromatic
baik secara total maupun sebagian dapat didegradasi oleh mikroorganisme
tergantung pada jumlah cincin dan jenis substituennya.
Degradasi
fenol dan homolognya dilakukan oleh berbagai organisme berupa
bakteri, jamur, kapang, ganggang, dan tumbuhan tungkat tinggi (Semple and
Cain, 1996). Pengetahuan tentang jalur biotransformasi merupakan hal penting
untuk melihat resiko pada daerah terkontaminasi dan penerapan perlakuan
biologi. Bagaimanapun, jalur yang diamati di laboratorium dengan organisme
tanpa aklimatisasi sering berbeda dengan yang diobservasi di lapangan
atau pada proses perlakuan dengan konsorsium mikroba yang dipaparkan
dalam kontaminan untuk waktu yang lama (Nicholson et al., 1992). Pada
kasus kloroaromatik, alasan lambatnya atau tidak adanya biodegradasi
dalam lingkungan disebabkan oleh jumlah yang tidak memadai dari mikroba
pendegradasi poliklorofenol (Blasco et al., 1997; Miethling and Karlson, 1996)
dan inhibisi oleh konsentrasi toksik senyawa ini, atau oleh kontaminan lain (Heipieper
et al., 1992; Miethling and Karlson, 1996). Namun kadang-kadang mikroba
khusus yang diintroduksikan bekerja tidak sesuai dengan harapan,karena
faktor seperti ketahanan (survival) rendah, predasi, dan pengaturan kemampuan
degradasi yang tidak baik (Blasco et al., 1997).
II.
PROSES DEGRADASI
Degradasi
senyawa fenol dapat dilakukan lebih mudah dibandingkan dengan
senyawa hasil sintetik derivat atau homolog aromatis. Hal ini lebih disebabkan
karena senyawa ini telah lebih lama dikenali bakteri pendegradasi sehingga
bakteri mampu mendegradasi jauh lebih baik dibandingkan dengan dengradasi
senyawa derivat sintetiknya.
Proses
pemecahan fenol dan mineralisasi dilakukan berbagai organisme melalui
destabilisasi cincin aromatis fenol. Senyawa fenol mengalami oksidasi dengan
bantuan enzim dioksigenase-cincin (ring-dioxygenase) menghasilkan dihidrodiol.
Senyawa katekol (dihydric phenol) dihasilkan dari senyawa dihidrodiol
dehidrogenase. Melalui pemecahan orto dengan enzim katekol 2,3-dioksigenase
menghasilkan cis-cis-mukonat, atau pemecahan meta dengan enzim
katekol 2,3-dioksigenase, senyawa katekol diubah menjadi hidroksi mukonat
semialdehid, dan pemecahan lain. Hasil metabolit ini dapat masuk ke siklus
TCA. Beberapa homolog fenol juga mempunyai jalur reaksi yang sama sebelum
masuk siklus TCA.
Kemampuan
degradasi mikroba terhadap senyawa fenol dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti jenis mikroba, proses aklimatisasi, senyawa toksik, dan toleransi
mikroba terhadap senyawa toksik. Beberapa mikroba tercatat mampu mendegradasi
fenol dengan baik. Ganggang eukaryot, Ochromonas danica, mampu
tumbuh pada fenol sebagai satu-satunya sumber karbon. Ganggang ini mengoksidasi
fenol dan memineralisasi fenol menjadi katekol melalui pembelahan
meta. Konversi fenol menghasilkan CO2 sebanyak
60%, 15% tetap dalam
medium cair, dan sisanya dikonversi menjadi biomassa (Semple and Cain, 1996).
Jamur Ceriporiopsis subvermispora dan Cyathus stercoreus mampu mendegradasi
senyawa tannin (Gamble et al., 1996).
Senyawa
toksik berupa logam berat juga mengganggu mikroba pendegradasi.
Kontaminasi logam berat secara alami (erosi, kebakaran,pencucian,
aktifitas gunung api, dan transformasi mikroba) dan oleh kegiatan manusia
(limbah industri, pembuangan sampah, dan pembakaran bahan bakar fosil)
menyebabkan akumulasi logam dalam relung lingkungan yang anaerobik (Kuo
and Genthner, 1996). Keadaan ini membuat perlunya diketahui kemampuan mikroba
untuk mendegradasi senyawa aromatik di daerah yang juga tercemar logam
berat. Pertumbuhan bersama antara pereduksi Cr(VI), Escherichia coli ATCC
33456, dan pendegradasi fenol, Pseudomonas putida DMP-1, secara simultan
mereduksi Cr(VI) dan mendegradasi fenol (Shen and Wang, 1995). Penambahan
Cr(VI) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan biodegradasi fenol sampai 179%
dan benzoat sampai 169%, sedang penambahan Cd(II) dan Cu(II) sebanyak
0.01 ppm meningkatkan laju biodegradasi benzoat sampai 185% dan 2-klorofenol
sampai 168%. Untuk Hg(II) 1.0-2.0 ppm, 2-klorofenol dan 3-klorobenzoat
terdegradasi 133-154% lebih cepat daripada kontrol setelah periode aklimatisasinya
diperpanjang (Kuo and Genthner, 1996). Peningkatan toleransi sel
melawan substrat beracun dapat meningkatkan kemampuan degradasi bahan pencemar
oleh mikroba terkait. Perubahan komposisi lemak membran dari cis menjadi
trans menyebabkan peningkatan derajat saturasi lemak membran. Modifikasi
ini berhubungan dengan peningkatan toleransi membran terhadap senyawa
toksik, seperti fenol dan klorofenol (Heipieper et al., 1992).
Beberapa
derivat aromatis atau homolog fenol juga mampu didegradasi oleh mikroba.
Strain bakteri MVI, suatu kelompok bakteri Gram-negatif dan basilus aerobik,
yang diisolasi dari lumpur yang diperkaya yang diambil dari tempat pengolahan
air limbah pabrik plastik memperlihatkan kemampuan mendegradasi bisfenol
A. Sebanyak 60% bisfenol A termineralisasi menjadi CO2 ,
dan 20% menjadi
bagian sel. Bisfenol dipecah menjadi 4-hidroksibenzoat dan 4-hidroksiasetofenon
untuk kemudian dimineralisasi dan diasimilasi menjadi karbon dalam
sel. Dua puluh persen lainnya dihidroksilasi membentuk 2,2-bis(4-hidroksifenil)-1-propanol,
kemudian ditransformasi menjadi 2,3-bis(4-hidroksifenil)-1,2-propanediol.
Sel yang ditumbuhkan pada bisfenol A ternyata mampu
mendegradasi juga bisfenol alkana, asam benzoat terhidroksilasi, dan asetofenon
terhidroksilasi (Lobos et al., 1992). Selama degradasi difenil eter yang
dilakukan oleh bakteri Sphingomonas sp. strain SS3 terbentuk intermediet fenol
dan katekol yang kemudian menuju jalur 3-oksoadipat. Bakteri ini juga mampu
menggunakan derivat 4-floro, 4-kloro, dan sedikit 4-bromo dari difenil eter
sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi. Langkah inisiasi degradasi mengikuti
mekanisme 1,2-dioksigenase yang menghasilkan fenolat hemiasetal yang
tidak stabil dari struktur difenil (Schmidt et al., 1992). Rhodobacter capsulatus
E1F1, bakteri non sulfur ungu fototrofik yang mampu memfotoasimilasi
nitrat atau nitrit, tumbuh secara fototrofik pada medium dengan
mono dan dinitrofenol dengan asetat sebagai sumber karbon. Pertumbuhan
terbesar diperoleh pada kondisi mikroaerobik (Blasco and Castillo,1992).
Pada
kasus biodegradasi senyawa aromatik seringkali terbentuk intermediet
yang lebih toksik dari senyawa asli. Karena tingkat kelarutan yang tinggi
menyebabkan senyawa ini mudah menyebar. Oleh sebab itu, proses mineralisasi
harus merupakan tujuan akhir dari degradasi senyawa aromatis, bukan
hanya sekedar telah terjadi konversi senyawa ini (Blasco et al., 1997;Laine
and Jorgensen, 1996).
Pada
senyawa kloroaromatis, mineralisasi biasanya dilakukan oleh enzim melalui
jalur klorokatekol. Sayangnya hanya sedikit bakteri yang mampu mentransformasi
klorofenol menjadi klorokatekol untuk kemudian menuju proses ineralisasi
(Blasco et al., 1997). Reduksi dehalogenasi kelihatannya merupakan langkah
inisiasi dalam degradasi anaerobik seluruh klorofenol (Mohn and Kennedy,
1992; Nicholson et al., 1992). Reduksi ini memiliki nilai penting terhadap
lingkungan karena produk metabolik yang lebih sedikit mengandung klorin
umumnya kurang beracun dan lebih mudah didegradasi oleh bakteri aerob dibandingkan
dengan senyawa induk yang memiliki klorin lebih banyak (Nicholson
et al., 1992). Nicholson et al. (1992) juga mencatat bahwa reduksi deklorinasi
terjadi pada lumpur buangan anaerobik yang tidak diaklimatisasi dan yang
diaklimatisasi, sedimen, tanah yang ditambah dengan lumpur buangan, dan lingkungan
perairan.
Jalur
lain dalam degradasi homolog fenol selain jalur klorokatekol dapat saja
terjadi melalui pembelahan meta dan 3-oksoadipat yang menghasilkan protoanemonin, suatu intermediet yang lebih toksik daripada senyawa
induk. Protoanemonin merupakan suatu senyawa antibiotik spektrum luas
yang biasanya dihasilkan oleh tumbuhan keluarga Ranunculaceae (Blasco et al.,
1997). Pembentukan protoanemonin ini dibuktikan dengan percobaan menggunakan
tanah disterilisasi dan tanah yang tidak disterilisasi. Pemberian katekol,
4-klorokatekol, dan 4-klorobenzoat pada tanah disterilisasi tidak mempengaruhi
pertumbuhan Pseudomonas sp. strain LB400, bakteri yang mampu
memetabolisme klorobifenil. Benzoat dan bifenil dirombak tanpa akumulasi
intermediet, atau mengalami mineralisasi. Pada tanah yang tidak disterilisasi,
pemberian senyawa tersebut menyebabkan penurunan viabilitas bakteri
LB400. Penurunan ini dapat terjadi karena pengaruh kompetisi terbatas dan/atau
predasi, namun penurunan yang lebih besar dapat terjadi karena adanya
akumulasi senyawa toksik berupa protoanemonin yang dibentuk oleh mikroorganisme
indigenous (Blasco et al., 1997).
Gambar
2. Jalur degradasi aerobik 4-klorobenzoat. 1). dehalogenasi hidrolitik 4-klorobenzoat
menghasilkan 4-hidroksibenzoat, 2). dioksigenasi 4-klorobenzoat
dikatalisis oleh benzoat dioksigenase membentuk 4-klorokatekol,
3). pembelahan meta 4-klorokatekol oleh katekol 2,3-dioksigenase,
4). pembelahan orto 4-klorokatekol oleh katekol dan klorokatekol
1,2-dioksigenase, 5). pembentukan cis-dienelakton dari 3-kloro-cis,cis-mikonat
dikatalisis oleh kloromukonat sikloisomerase, 6). 1,4-sikloisomerasi
dari 3-kloro-cis,cis-mukonat dikatalisis oleh mukonat sikloisomerase
Trichosporan cutaneum, 7). Pembentukan protoanemonin dikatalisis
oleh mukonat sikloisomerase (dari Blasco et al., 1997).
Inokulasi
LB400 bersama dengan Pseudomonas PS121 yang mampu mendegradasi
4-klorobenzoat melalui 4-klorokatekol dan jalur orto ke dalam tanah
tidak disterilisasi menunjukkan tidak adanya penurunan viabilitas LB400. Hal
yang sama juga terlihat pada kombinasi LB400 dengan P. putida KT2442 yang
memiliki plasmid TOL yang mampu merubah 4-klorobenzoat menjadi 5-kloro-2-hidroksimukonat
semialdehid, sehingga tidak terjadi akumulasi 4-klorokatekol
dan protoanemonin (Blasco et al., 1997). Beberapa
mikroba lain yang mampu mengkonversi klorofenol telah dilaporkan.
Meski tidak menyebutkan secara spesifik, Mohn and Kennedy (1992) melihat
adanya beberapa mikroba anaerob yang mampu mendegradasi klorofenol dan
mungkin dapat digunakan pada limbah yang mengandung klorofenol. Biodegradasi
anaerobik merupakan suatu pilihan yang murah untuk
mengeluarkan
bahan pencemar organik in situ dari lingkungan (Kuo and Genthner,
1996). Setelah aklimatisasi pada 3,4 ?M pentaklorofenol selama 6 bulan,
konsorsium metanogen mampu mengeluarkan klorin dari posisi orto, meta,
dan para dari pentaklorofenol dan produk reduktif deklorinasinya. Pentaklorofenol
didegradasi menjadi 2,3,4,5-tetraklorofenol, 2,3,4,6-
tetraklorofenol,
dan 2,3,5,6-tetraklorofenol. Proses deklorinasi 2,3,4,5-tetraklorofenol
menghasilkan 3,4,5-triklorofenol untuk kemudian didegradasi menjadi
3,4-diklorofenol dan 3,5-diklorofenol. Deklorinasi melalui orto dan meta dari
2,3,4,6-tetraklorofenol menghasilkan 2,4,6-triklorofenol dan 2,4,5-triklorofenol,
sedang 2,3,5,6-tetraklorofenol menghasilkan 2,3,5-triklorofenol dilanjutkan
dengan pembentukan 3,5-diklorofenol. Degradasi 2,4,6-triklorofenol
menghasilkan
2,4-diklorofenol, sedang deklorinasi 2,4,5-triklorofenol pada dua posisi
menghasilkan 2,4-diklorofenol dan 3,4-diklorofenol. Dari tiga diklorofenol yang
dihasilkan hanya 2,4-diklorofenol yang dapat didegradasi dalam waktu relatif
singkat untuk membentuk 4-klorofenol (Nicholson et al., 1992). Inokulasi tanah
dengan Sphingomonas chlorophenolica RA2 sebanyak 108 sel/g
mampu memperpendek
secara mengesankan waktu mineralisasi 30g pentaklorofenol dengan
sekitar 80% diubah menjadi CO2.
- Inokulasi dengan Mycobacterium
chlorophenolicum
PCP1 meningkatkan mineralisasi sedikit di atas bakteri indigenous.
Kemampuan yang buruk dari strain ini mungkin berhubungan dengan sifat
sensitifnya terhadap pentaklorofenol, juga mungkin karena kondisi tanah yang
sedikit asam (Meithling and Karlson, 1996). Penambahan
bahan tertentu yang mengandung inokulan ke dalam tanah terkontaminasi
klorofenol dapat mempercepat proses degradasi klorofenol. Setelah
adaptasi dengan pentaklorofenol, kompos jerami mampu memineralisasi 56%
pentaklorofenol. Sedang tanah teremediasi (remediated soil) yang telah diperkaya
mampu memineralisasi 24% pentaklorofenol (Laino and Jorgensen, 1996).
Biodegradasi anaerobik senyawa klorofenol dan klorobenzoat juga tergantung
kepada elektron yang tersedia dan posisi klorin tersubstitusi(Haggblm
et al., 1993).
Hasil
proses degradasi tidak seluruhnya dapat
dimineralisasi. Beberapa
intermediet ternyat bersifat resisten terhadap degradasi lanjut. Dua produk
yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap degradasi,
sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut (Mohn and Kennedy,
1992). Melihat kenyataan ini pemilihan mikroba yang lebih sesuai untuk
aplikasi sehingga meminimalkan produk tak terdegradasi lanjut maupun terbentuknya
intermediet toksik menjadi penting.
pertanyaan:pada artikel di atas dikatakan hasil proses degradasi tidak seluruhnya dapat dimineralisasi. Beberapa intermediet ternyat bersifat resisten/menentang/melawan terhadap degradasi lanjut. Dua produk yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap degradasi, sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut. apa yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi?
BalasHapusLimbah senyawa fenolik termasuk 4-klorofenol merupakan senyawa beracun yang sulit didegradasi dengan bantuan mikroorganisme. hal ini disebabkan karena senyawa 4-klorofenol adalah senyawa siklis aromatic yang resisten karena 4-klorofenol sulit dioksidasi dengan pengolahan biologi (dengan bantuan mikroorganisme). Selain itu adanya gugus halogen yang terikat pada struktur fenol dasarnya juga berpengaruh. Adanya halogen pada siklis aromatik biasanya menimbulkan proses deaktifasi pada mikroorganisme dalam biodegradasi. Pengaruh deaktifasi bertambah dengan bertambahnya jumlah substitusi halogen pada aromatik. Klorofenol dengan substitusi halogen yang besar dapat menjadi resisten dalam biodegradasi mikroorganisme.
BalasHapusAkan tetapi ada cara lain untuk mendegradasi senyawa 4-klorofenol, yaitu dengan teknik ozonasi( metode oksidasi fasa larutan yang berdasarkan prinsip pembentukan dan pemanfaatan radikal *OH) dan plasma.
semoga membantu
Baiklah saya akan mencoba menjawab permasalahan anda
BalasHapusmenurut literatur yang saya peroleh kemungkinan faktor yang dapat menyebabkan Dua produk yaitu 3-dan 4-monoklorofenol merupakan produk yang resisten terhadap degradasi sedang 2 monoklorofenol dapat didegradasi lebih lanjut adalah karena adanya Penambahan beberapa unsur tertentu sehingga mempengaruhi pada proses degradasi, berikut uraiannya:
Cr(VI) sebanyak 0.01 ppm meningkatkan biodegradasi fenol sampai
179% dan benzoat sampai 169%, sedang penambahan Cd(II) dan Cu(II)
sebanyak 0.01 ppm meningkatkan laju biodegradasi benzoat sampai 185% dan
2-klorofenol sampai 168%. Untuk Hg(II) 1.0-2.0 ppm, 2-klorofenol dan 3-
klorobenzoat terdegradasi 133-154% lebih cepat daripada kontrol setelah periode
aklimatisasinya diperpanjang (Kuo and Genthner, 1996). Peningkatan toleransi
sel melawan substrat beracun dapat meningkatkan kemampuan degradasi bahan
pencemar oleh mikroba terkait. Perubahan komposisi lemak membran dari cis
menjadi trans menyebabkan peningkatan derajat saturasi lemak membran.
Modifikasi ini berhubungan dengan peningkatan toleransi membran terhadap
senyawa toksik, seperti fenol dan klorofenol (Heipieper et al., 1992).
Selain itu, adanya yang bersifat resisten tersebut dapat disebabkan oleh sulit dioksidasi dengan pengolahan biologi
Kemudian, keterikatan gugus halogen pada fenol yakni siklis aromatiknya dapat menyebabkan penambahan deaktifasi yang akhirnya menambah keberadaan subsitusi halogen pada aromatik. Sehingga hal inilah yang mengakibatkan sifat resisten itu terjadi.
trimms smoga membantu
menurut sumber yang saya baca:
BalasHapusSenyawa klorofenol adalah senyawa siklis aromatic yang resisten. Klorofenol ini dapat didegradasi oleh beberapa mikroorganisme manjadi molekul yang toksisitasnya lebih rendah. Adanya halogen pada siklis aromatik biasanya menimbulkan proses deaktifasi pada mikroorganisme dalam biodegradasi. Pengaruh deaktifasi bertambah dengan bertambahnya jumlah substitusi halogen pada aromatik. Klorofenol dengan substitusi halogen yang besar dapat menjadi resisten dalam biodegradasi mikroorganisme.
Senyawa 4 Klorofenol merupakan senyawa terhalogenasi sintetik, yang bersifat toksik, rekalsitran dan persisten di alam karena adanya gugus halogen yang terikat pada struktur fenol dasarnya. oleh karena itu 4-klorofenol merupakn senyawa yang resisten pada biodegradasi.