Definisi Problem BasedLearning (PBL)
Model pembelajaran Problem BasedLearning (PBL) merupakan suatu model
pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap
metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan
dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
Problem BasedLearning
atau pembelajaran berbasis masalah memiliki beberapa arti menurut para ahli,
diantaranya :
1. Menurut Boud dan Felleti, (1997), Fogarty (1997) menyatakan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran dengan
membuat konfrontasi kepada pebelajar (siswa/mahasiswa) dengan masalah-masalah
praktis, berbentuk ill-structured, atau openended melalui stimulus dalam
belajar.
2. Menurut Arends (Nurhayati Abbas, 2000: 12) menyatakan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah adalah model pembelajaran dengan pendekatan
pembelajaran siswa pada masalah autentik, sehingga siswa dapat menyusun
pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan yang lebih tinggi dan
inquiri, memandirikan siswa, dan meningkatkan kepercayaan diri sendiri.
3. Menurut Ward (2002) dalam (Stepien, dkk, 1993) menyatakan bahwa model
berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk
memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat
mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus
memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah.
4. Ratnaningsih (2003) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah adalah
suatu pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami suatu
konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal
pembelajaran.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan
bahwa model pembelajaran PBL atau pembelajaran berbasis masalah merupakansuatu
model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata (masalah sehari-hari)
sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir
kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan
dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.Dengan kata lain, tujuan utama
pembelajaran berbasis masalah adalah untuk menggali daya kreativitas siswa
dalam berpikir dan memotivasi siswa untuk terus belajar.
Dalam proses PBL, sebelum pelajaran dimulai, siswa akan diberikan
masalah-masalah. Masalah yang disajikan adalah masalah yang memiliki konteks
dengan dunia nyata. Semakin dekat dengan dunia nyata, maka akan semakin baik
pengaruhnya pada peningkatan kecakapan pada siswa. Dari masalah yang diberikan
ini siswa bekerja sama dalam kelompok dan mencoba memecahkan masalah dengan
kemampuan yang dimiliki dan sekaligus mencari informasi – informasi baru yang
relevan untuk solusinya. Di sini tugas pendidik adalah sebagai fasilitator yang
mengarahkan peserta didik dalam mencari dan menemukan solusi yang diperlukan.
Melalui pembelajaran semacam itu siswa akan merasa ditantang untuk
mengajukan gagasan. Biasanya akan muncul berbagai gagasan dan siswa akan saling
memberikan alasan dari gagasan yang diajukan. Dalam proses pembahasan, gagasan
itu akan terjadi interaksi dan pemaduan gagasan yang pada akhirnya mengarah
pada saling melengkapi. Siswa biasanya sangat senang karena merasa mampu
memecahkan masalah yang diberikan.
Pembelajaran berbasis masalah membuat perubahan dalam proses pembelajaran
khususnya dalam segi peranan guru. Guru tidak hanya berdiri di depan kelas dan
berperan sebagai pemandu siswa dalam menyelesaikan permasalahan dengan
memberikan langkah-langkah penyelesaian yang sudah jadi melainkan guru
berkeliling kelas memfasilitasi diskusi, memberikan pertanyaan, dan membantu
siswa untuk menjadi lebih sadar akan proses pembelajaran.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama pembelajaran
berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada masalah atau pertanyaan
yang autentik. multidisiplin, menuntut kerja sama dalam penyelidikan, dan
menghasilkan karya. Dalam pembelajaran berbasis masalah situasi atau masalah
menjadi titik tolak pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan
mengembangkan keterampilan memecahkan masalah
2.2 Landasan Teori Pembelajaran Berbasis Masalah
a. Teori Psikologi Kognitif
Lima prinsip yang mendukung
dikembangkannya PBL menurut Schmidt (1993) yaitu pengaktifan pengetahuan
sebelumnya, elaborasi pengetahuan, pengkodean spesifitas atau restrukturisasi
pengetahuan agar sesuai dengan masalah yang disajikan, keingintahuan epistemik,
dan ketergantungan pada pembelajaran seara
kontekstual.
Pengaktifan pengetahuan sebelumnya memerlukan penggunaan pengetahuan lama
dalam memahami informasi baru. Karena pembelajaran pada dasarnya, memiliki ciri
restrukturisasi, pengetahuan lama dan cara penyusunannya dalam memori jangka
panjang akan mempengaruhi pembelajaran yang baru. Peserta didik diminta untuk
menelaah kembali apa yang telah mereka ketahui tentang suatu masalah sebelum
mengupayakan penyelesaiannya.
Elaborasi memiliki kelebihan dalam struktur memori dan kelebihan ini
merupakan cara yang aman agar individu tidak lupa sekaligus menjadi alat bantu
untuk mengingat dengan cepat. Rangsangan terjadi saat peserta didik merumuskan
dan mengkritisi hipotesa mengenai masalah tertentu, mendiskusikan bukti terkait
dengan peserta didik yang lain, dan menyajikan rangkuman informasi yang sudah
ditelaah.
Pengkodean spesifitas terjadi karena situasi pembelajaran dibuat seolah
seperti situasi itu diterapkan di masa mendatang, peserta didik belajar
isu tentang masalah klien yang akan mereka hadapi dalam praktik klinik saat
mereka nanti bekerja.
Keingintahuan epistemik atau ketertarikan intrinsik merupakan sesuatu yang
sebanding dengan pembelajaran berbasis masalah karena pelaksanaan diskusi
kelompok dapat memperjelas sudut pandang seseorang jika dihadapkan dengan sudut
pandang orang lain.
Ketergantungan pembelajaran secara kontekstual terjadi karena dengan PBL
menerapkan secara prinsip, mengaktifkan pengetahuan dalam memori jangka panjang
dan untuk membuat pengetahuan tersebut siap untuk digunakan bergantung pada
petunjuk kontekstual. Dalam PBL, informasi dipelajari berkaitan dengan masalah
yang umum dijumpai sehingga pengingatan informasi dapat berlangsung dengan
cepat jika mahasiswa atau pembelajar tersebut dihadapkan pada masalah yang
serupa di lingkkungan praktik.
b. John Dewey dan Jerome Bruner
Pembelajaran berbasis masalah mencerminkan pandangan John Dewey yang
menyatakan : ” Tidak ada hal di dalam filosofi pendidikan progresif yang lebih
bermakna daripada penekannannya terhadap makna penting partisipasi peserta
didik di dalam penyusunan tujuan yang mengarahkan kegiatannya di dalam proses
pembelajaran.” Penekanan PBL pada analisis masalah sebelum mengumpulkan
informasi pada aktifitas mandiri dipengaruhi oleh ide Bruner tentang motivasi
intrinsik sebagai kekuatan pendorong individu untuk lebih banyak mempelajari
dunia mereka. Pembelajaran akan berkembang jika peserta didik berpartisipasi
aktif di dalam proses tersebut dan pembelajaran didasarkan pada sebuah masalah.
c. Lev Vygotsky dengan Konstruktivisme
Konsep pokok konstruktivisme adalah ’pengetahuan disusun melalui aktivitas
kognitif peserta didik dalam interaksi yang berkelanjutan dan
partisipasinya sebagai anggota di dalam komunitas sosialnya. Pembelajaran
berlangsung melalui partisipasi aktif individu dalam interaksi sosial dengan
individu lain yang lebih berpengetahuan sambil menjalankan aktifitas yang
bermakna dan relevan. Peserta didik akan menerima bantuan dari interaksi yang
diberikan interaksi yang dicirikan dengan aktifitas semacam pengarahan,
percontohan, pertanyaan, dan pemberian umpan balik serta strukturisasi kognitif
sampai mereka mampu melakukannya tanpa bantuan atau arahan. Pembelajaran harus
dialihkan ke tingkat individual agar peserta didik dapat mengelolanya sendiri
sehingga perpindahan ke tingkat yang lebih tinggi baik dalam segi kompetensi
maupun independensi terpenuhi.
Teori PBL
menurut konstruktivisme :
PBL juga menempatkan pembelajaran
dalam konteks sosial. Peran pembimbing dan peserta didik dalam PBL sebanding
dengan paradigma ahli konstruktivisme, yaitu bahwa individu yang lebih
berpengetahuan dan berkemampuan membantu tetapi tidak mendominasi aktifitas dan
pengalaman peserta didik. Dalam PBL setiap peserta didik bertanggungjawab
terhadap pembelajarannya sendiri, dan pembimbing serta peserta didik yang
lain bertanggungjawab untuk saling membantu mencapai pembelajaran yang optimal.
Pembimbing memiliki tanggung jawab tambahan untuk memberi tugas dan
struktur sasaran yang jelas serta memfasilitasi proses pembelajaran melalui
konsultasi, membantu pelaksanaan interaksi kolaboratif, dan memberi umpan balik
untuk partisipan.
2.3 Tahapan
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Arends (2004) merinci
langkah-langkah pelaksanaan PBL dalam pengajaran. Terdapat 5 fase (tahap) yang
perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Secara singkat kelima tahapan
pembelajaran berbasis masalah (PBL) akan
dijelaskan seperti pada tabel berikut ini.
Tahapan
|
Tingkah Laku Guru
|
Tahap 1 : Orientasi siswa pada masalah
|
-
Menjelaskan tujuan pembelajaran
-
Menciptakan suasana kelas yang memungkinkan terjadi
pertukaran ide yang terbuka
-
Mengarahkan pada pertanyaan atau masalah
|
Tahap 2 : Mengorganisasikan siswa
untuk belajar
|
-
Membantu siswa menemukan konsep berdasarkan masalah
-
Mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut
|
Tahap 3 : Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok
|
Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang
sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah, membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas – tugas
belajar yang berkaitan dengan masalah
|
Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya/tugas
|
Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan
karya/tugas yang sesuai seperti laporan, video dan model serta membantu
mereka untuk berbagi tugas dengan temannya.
|
Tahap 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
|
-
Membantu siswa mengkaji ulang hasil pemecahan
masalah
-
Memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan
masalah
-
Mengevaluasi materi
|
Penjelasan tiap – tiap langkah PBL
Fase 1:
Mengorientasikan Siswa pada Masalah
Pembelajaran dimulai
dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan
dilakukan. Guru menyajikan masalah secara hati-hati dengan prosedur yang jelas,
masalah disampaikan semenarik mungkin. Sajian masalah tersebut diharapkan dapat
menggugah minat siswa dan menimbulkan keinginan untuk memecahkan masalah
tersebut.
Dalam penggunaan PBL,
tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang
harus dilakukan oleh siswa dan juga oleh guru. Disamping proses yang akan
berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi
proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar
siswa dapat sungguh – sungguh dalam
pembelajaran yang akan dilakukan.
Fase 2:
Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar
Disamping mengembangkan
keterampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa belajar
berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing
antar anggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
membentuk kelompok –kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih
dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip – prinsip pengelompokan siswa dalam
pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok
harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif,
adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru sangat penting memonitor dan
mengevaluasi kerja masing – masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika
kelompok selama pembelajaran.
Setelah siswa
diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok, selanjutnya
guru dan siswa menetapkan subtopik – subtopik yang spesifik, tugas-tugas
penyelidikan, mengajukan hipotesis dari permasalahan yang terjadi. Dalam tahap
ini guru membantu siswa dalam merencanakan dan mengatur waktu untuk melakukan
penyelidikan, diskusi serta mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Tantangan
utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif
terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini
dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu
penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah
inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik
penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang
identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan,
dan memberikan pemecahan masalah. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan
aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk
mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai
mereka betul-betul memahami dimensi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa
mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka
sendiri. Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah – masalah
dalam buku – buku. Guru membantu siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak – banyaknya
dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada siswa untuk
berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada
pemecahan masalah yang dapat dipertahankan. Selama tahap penyelidikan, guru menyediakan
bantuan yang dibutuhkan tanpa menunggu dan mengingatkan tugas-tugas yang harus
mereka selesaikan. Bantuan guru dapat berupa memberikan bimbingan apabila siswa
menemukan kesulitan, menyediakan bahan ajar, dan menyediakan alat dan bahan
percobaan.
Fase 4: Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya/tugas
Pada tahap penyelidikan
diikuti dengan menciptakan hasil karya dan menyajikannya. Hasil karyatidak
hanya berupa laporan tertulis, namun bisa suatu videotape, model (perwujudan
secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan
sajian multimedia, dan poster. Pengembangan hasil karya ini tentunya sangat
dipengaruhi tingkat berpikir siswa. Langkah selanjutnya adalah menyajikan hasil
karyanya. Guru memberikan kesempatan masing-masing kelompok untuk menyajikan
hasil karya yang digarapkan dapat mewakili penyelesaian dan penjelasan dari
masalah yang sedang dipelajari.
Fase 5: Analisis dan
evaluasi proses pemecahan masalah
Fase ini merupakan
tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis
dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan
intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta siswa untuk
merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses
kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas
tentang situasi masalah, kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu, mengapa
mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain, mengapa mereka
menolak beberapa penjelasan, mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari
mereka, apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika
penyelidikan berlangsung, apa penyebab perubahan itu, apakah mereka akan
melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang, dan lain sebagainya. Tentunya
masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik
dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
2.4 Implementasi Model Pembelajaran
Problem Based Learning dalam Pembelajaran Kimia
Implentasi model pembelajaran Problem Based
Learning (PBL) dalam pelajaran kimia dapat dicontohkan pada materi Larutan
Elektrolit dan Non-Elektrolit.
Guru
mengapersepsi siswa dengan bertanya kepada siswa: ” sebelumnya kita sudah
belajar tentang larutan, nah apa yang dimaksud dengan larutan? pernahkah kalian melihat larutan yang
dapat menghantarkan arus listrik ? dan sebelumnya siswa ibu pastinya sudah
mengerti benda apa saja yang dapat menghantarkan arus listrik, nah coba kalian
sebutkan larutan apa saja yang kalian temui dalam kehidupan sehari-hari yang
bersifat menghantarkan listrik dan tidak menghantarkan listrik???
Guru
memotivasi siswa dengan mengajukan beberapa pertanyaan, agar tertarik dengan
materi yang akan diajarkan. “ Apakah kalian
pernah melihat seseorang yang memancing ikan dengan menggunakan arus listrik di
perairan? Apakah yang terjadi jika kalian atau orang lain memancing ikan dengan
menggunakan pancing atau alat lainnya dengan mengalirkan arus listrik ?
berbahaya bukan? Nah Mengapa ikan yang terdapat didalam air dapat tersengat
oleh aliran listrik dengan mudah?
Kemudian guru menegaskan atau memberi penguatan, “memancing
ikan menggunakan pancing yang dialiri
arus listrik merupakan hal yang
dapat membahayakan ekosistem perairan maupun pemancing tersebut, karena air
merupakan suatu zat yang sangat mudah
menghantarkan arus listrik, apa lagi air laut, air laut itu merupakan larutan
yang mengandung garam.”
Selanjutnya
guru Menyampaikan tujuan pembelajaran
dan memberikan materi pelajaran secara singkat mengenai larutan
elektrolit dan non elektrolit. “Nah
sekarang kita akan belajar larutan yang dapat menghantarkan arus listrik dan
tidak menghantarkan arus listrik, larutan yang dapat menghantarkan arus listrik
itu dinamakan larutan elektrolit dan sebaliknya dinamakan larutan non
elektrolit. Jadi semua siswa ibu harus bisa mengidentifikasi sifat-sifat
larutan elektrolit dan non elektrolit”
Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok
untuk melakukan percobaan dan membagikan
format
laporan sementara untuk
dilengkapi datanya sesuai percobaan. “Nah untuk dapat
mengidentifikasi sifat-sifat larutan elektrolit dan non elektrolit kita
melakukan percobaan dengan menggunakan larutan yang ada di sekitar kita
(larutan gula, larutan garam, larutan asam cuka dan larutan NaOH).”
Guru dapat memperlihatkan animasi virtual lab
mengenai larutan elektrolit dan non elektrolit untuk memberikan penguatan
materi kepada siswa sebelum melaksanakan percobaan.Kemudian guru membimbing
siswa untuk melakukan percobaan. Setelah itu masing-masing kelompok
menyampaikan hasil praktikum secara mandiri
dan bertanggungjawab.
Kemudian Siswa dengan bimbingan
guru membahas data hasil pengamatan dengan mengadakan tanya jawab kembali. Mungkin guru memberikan pertanyaan, “Bagaimana
larutan elektrolit atau zat elektrolit dapat menghantarkan arus listrik???”
Jawabannya: Menurut Arrhenius bahwa dalam larutan
elektrolit yang berperan menghantarkan arus listrik adalah partikel-partikel
bermutan (ion) yang bergerak bebas didalam larutan. Contohnnya bila Kristal
NaCl dilarutkan dalam air, maka oleh pengaruh air NaCl terdissosiasi menjadi
ion positif Na+ (kation) dan ion Cl- (anion) yang bebas
bergerak. Ion-ion inilah yang menghantarkan arus listrik dalam larutan
elektrolit melalui kedua ujung kawat (kutub electrode) pada alat uji elekrolit.
Dari
pengamatan tersebut diketahui bahwa ion-ion positif bergerak menuju ke kutub
negative dan ion-ion negatif bergerak ke kutub positif, jadi dapat disimpulkan
bahwa suatu zat dapat menjadi elektrolit bila didalam larutannya zat tersebut
terurai menjadi ion-ion yang bebas bergerak
Guru
memberikan penguatan tentang perbedaan larutan elektrolit dan nonelektrolit
serta memberikan catatan-catatan
penting mengenai materi pokok yang harus dikuasai siswa. Guru dan siswa
bersama-sama menyimpulkan hasil kegiatan pembelajaran.
Tabel Perbandingan sifat-sifat larutan elektrolit dan larutan non
elektrolit
Larutan Elektrolit
|
Larutan non elektrolit
|
1. Dapat
menghantarkan listrik
|
1. Tidak dapat menghantarkan
listrik
|
1. Terjadi
proses ionisasi
(terurai menjadi ion-ion) |
2. Tidak terjadi proses ionisasi
|
1. Lampu
dapat menyala terang atau redup dan ada gelembung gas
|
3. Lampu tidak menyala dan tidak
ada
|
Contoh:Garam dapur (NaCl),
Cuka dapur (CH3COOH)
Air accu (H2SO4) Garam magnesium (MgCl2) |
Contoh:
Larutan gula (C12H22O11) Larutan urea (CO NH2)2 Larutan alkohol C2H5OH (etanol) Larutan glukosa (C6H12O6) |
Dan
pada tahap terakhir Guru merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk
program pengayaan (ujian) atau memberikan tugas baik tugas individual maupun
kelompok sesuai dengan hasil belajar peserta didik.
Arends, R.I. 2004. Learningtoteach. SevenEdition.
New York :McGraw-HillCompaniesInc
Bahri, Syaiful, dan AswanZain. 2006.
Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar